Sabtu, 05 November 2016

Peristiwa Talangsari 1989



Peristiwa Talangsari 1989

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989. Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Kasus Talangsari hanyalah satu kasus dari sekian kasus kekerasan yang di wariskan pemerintah Orde Baru. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tidak banyak yang tahu, namun sudah banyak pula yang melupakannya. Selama ini informasi yang beredar ditengah masyarakat, kasus ini muncul karena adanya kelompok pemberontak “nyeleneh” dan ingin melawan pemerintah. Mereka mendapat image sesat dari masyarakat. Peristiwa Talangsari bukan semata masalah agama. Namun lebih kepada sikap aparat negara yang kurang bisa menerima kritik dan perbedaan pendapat.
Atas dasar tersebut pemerintah tidak mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Sebuah surat tiba di hari senja. Surat yang dikirim tertanggal 1 Februari 1989 itu bertanda tangan dari Kepala Dukuh Karangsari. Ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way JePara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah.
Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.
Di sebut-sebut kelompok pengajian itu banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga mengecam asas tunggal Pancasila, yang mereka nilai sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang gagal menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan, konomi hanya dikuasai kaum elite yang dekat dengan kekuasaan. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.
Menanggapi peristiwa Talangsari berdarah tersebut Presiden Soeharto seperti disampaikan Ketua MUI Hasan Basri, seusai menghadap Kepala Negara di Bina Graha mengatakan, “janganlah karena perbuatan sekelompok kecil orang, merusak nama baik umat Islam yang besar jumlahnya di Indonesia”
Apapun pertumpahan darah di antara sesama pemilik negeri ini sungguh sangat mahal harganya. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat hingga kini juga masih tetap misteri. Korban penyerbuan aparat keamanan terhadap kelompok Warsidi pun hingga kini terpecah dalam dua kelompok. Satu kelompok yang menamakan dirinya Korban Kekerasan Militer di Lampung (Koramil) menuntut agar Komnas HAM menyelesaikan secara hukum kasus pelanggaran berat HAM pada kasus tersebut. Kelompok lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar Umat (Format) dan Gerakan Ishlah Nasional (GIN), menuntut Komnas membiarkan mereka menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan dengan para pelakunya (berbagai sumber).
( Dikutip dari buku “Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung” karya Fadilasari : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) 2007 )

Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI)

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang dalam perspektif kekinian, nampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan JI (Jamaah Islamiyah). Dikatakan demikian, karena keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.
Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian di tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.
( Dikutip dari buku “Tragedi Lampung Peperangan Yang Direncanakan” karya Riyanto)

Islah

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi, ISLAH sesungguhnya merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya, Riyanto tidak paham mengapa islah menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang oleh orang Islam sendiri. Belakangan, barulah ia tahu, kontroversi dan kesan penentangan itu bukan karena islah-nya itu sendiri, tetapi tokoh di balik proses islah itu.
Sebagaimana diketahui kemudian, di dalam proses islah antara mantan jama’ah Warsidi (mantan napol kasus Talangsari) dengan aparat keamanan (termasuk Hendropriyono), ada peranan Drs. AMF dan Drs. AYW yang sama sekali tidak terkait kasus Talangsari. Kedua tokoh ini di mata umat Islam, terutama kalangan pergerakan Islam, dianggap bermasalah. Sehingga, islah yang bergulir itu dinilai tidak serius sekaligus diduga lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya. Apalagi, dari pihak pelaku kasus Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah saudara Fauzi Isman. Sosok ini terbukti juga bermasalah.

Peradilan

Peradilan di antarnya digelar di Tanjung Karang (Lampung), Jakarta, Jawa Tengah, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Rata-rata Jema'ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan, dan tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah hukuman untuk seumur hidup.
Pada tahun 2008, Komnas HAM membuka kembali kasus ini dengan memanggil kembali Hendropriyono sebagai mantan Danrem yang terlibat di lapangan dan Try Sutrisno sebagai Pangab waktu itu.
Sudah belasan tahun kasus Talangsari berlalu. Kini satu per satu pihak yang terkait kasus itu diperiksa Komnas HAM. Selama 2,5 jam, mantan Menkopolkam Sudomo diperiksa Komnas HAM. Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo. Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun 1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga menolak dan ada anggota yang dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi dan mengetahui latar belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini. Menurut Sudomo, kasus Talangsari dibuka kembali mungkin karena ada tuntutan dari korban atau untuk mencari data. Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah yang menjadi kesulitan.


Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar