Peristiwa Talangsari 1989
Peristiwa
Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan
aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way
Jepara, Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989. Peristiwa Talangsari tak lepas dari
peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan
Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi
adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada
awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Kasus
Talangsari hanyalah satu kasus dari sekian kasus kekerasan yang di wariskan
pemerintah Orde Baru. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas
tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai
politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Tidak banyak yang tahu, namun sudah banyak pula yang
melupakannya. Selama ini informasi yang beredar ditengah masyarakat, kasus ini
muncul karena adanya kelompok pemberontak “nyeleneh” dan ingin melawan
pemerintah. Mereka mendapat image sesat dari masyarakat. Peristiwa Talangsari
bukan semata masalah agama. Namun lebih kepada sikap aparat negara yang kurang
bisa menerima kritik dan perbedaan pendapat.
Atas
dasar tersebut pemerintah tidak mentolelir setiap aktivitas yang dianggap
bertentangan dan membahayakan Pancasila.Pemerintah melalui aparat setempat baik
sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap
aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama
Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten
Lampung Tengah).
Sebuah
surat tiba di hari senja. Surat yang dikirim tertanggal 1 Februari 1989 itu
bertanda tangan dari Kepala Dukuh Karangsari. Ditujukan kepada Komandan Koramil
(Danramil) Way JePara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada
orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai
orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri
sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama,
Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah.
Oleh
karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan
Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara)
merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah
sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar.
Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan
besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara
Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah
anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi
kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan
Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam
bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.
Tewasnya
Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung
Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga
pada 7 Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu
ke Cihideung, pusat gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
Menurut
data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan
advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam
bentrokan tersebut. Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya,
dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius.
Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung,
terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300
orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para
korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan
(GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban
sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.
Di
sebut-sebut kelompok pengajian itu banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru
yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga mengecam asas tunggal
Pancasila, yang mereka nilai sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Jemaah
Warsidi mengecam pemerintah yang gagal menyejahterakan rakyat dan gagal
menciptakan keadilan, konomi hanya dikuasai kaum elite yang dekat dengan
kekuasaan. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.
Menanggapi
peristiwa Talangsari berdarah tersebut Presiden Soeharto seperti disampaikan
Ketua MUI Hasan Basri, seusai menghadap Kepala Negara di Bina Graha mengatakan,
“janganlah karena perbuatan sekelompok kecil orang, merusak nama baik umat
Islam yang besar jumlahnya di Indonesia”
Apapun
pertumpahan darah di antara sesama pemilik negeri ini sungguh sangat mahal
harganya. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat hingga kini juga masih
tetap misteri. Korban penyerbuan aparat keamanan terhadap kelompok Warsidi pun
hingga kini terpecah dalam dua kelompok. Satu kelompok yang menamakan dirinya
Korban Kekerasan Militer di Lampung (Koramil) menuntut agar Komnas HAM
menyelesaikan secara hukum kasus pelanggaran berat HAM pada kasus tersebut.
Kelompok lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar Umat (Format)
dan Gerakan Ishlah Nasional (GIN), menuntut Komnas membiarkan mereka
menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan dengan para pelakunya
(berbagai sumber).
(
Dikutip dari buku “Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa
Lampung” karya Fadilasari : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) 2007 )
Hubungan ‘Genetis’ Talangsari
dengan Jama’ah Islamiyah (JI)
Menurut
Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi, bila kasus
Talangsari ini dipandang dalam perspektif kekinian, nampak ada hubungan
‘genetis’ dengan gerakan JI (Jamaah Islamiyah). Dikatakan demikian, karena
keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.
Abdullah
Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian di
tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI).
Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih
berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar
berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke
Talangsari sekalipun.
Semasa
masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif
membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku kasus
Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya,
Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun
1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga
anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
Nur
Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar
Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984
dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari
dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua
Mantiqi II.
Kalau
saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu
juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan
yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan
bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit
(perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah
menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana
terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.
(
Dikutip dari buku “Tragedi Lampung Peperangan Yang Direncanakan” karya Riyanto)
Islah
Menurut
Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi, ISLAH
sesungguhnya merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya, Riyanto tidak paham
mengapa islah menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang oleh orang Islam
sendiri. Belakangan, barulah ia tahu, kontroversi dan kesan penentangan itu
bukan karena islah-nya itu sendiri, tetapi tokoh di balik proses islah itu.
Sebagaimana
diketahui kemudian, di dalam proses islah antara mantan jama’ah Warsidi (mantan
napol kasus Talangsari) dengan aparat keamanan (termasuk Hendropriyono), ada
peranan Drs. AMF dan Drs. AYW yang sama sekali tidak terkait kasus Talangsari.
Kedua tokoh ini di mata umat Islam, terutama kalangan pergerakan Islam,
dianggap bermasalah. Sehingga, islah yang bergulir itu dinilai tidak serius
sekaligus diduga lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya. Apalagi, dari
pihak pelaku kasus Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah
saudara Fauzi Isman. Sosok ini terbukti juga bermasalah.
Peradilan
Peradilan di antarnya digelar di Tanjung
Karang (Lampung), Jakarta, Jawa Tengah, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat).
Rata-rata Jema'ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043
Garuda Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan, dan
tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah hukuman untuk seumur hidup.
Pada
tahun 2008, Komnas HAM membuka kembali kasus ini dengan memanggil kembali
Hendropriyono sebagai mantan Danrem yang terlibat di lapangan dan Try Sutrisno
sebagai Pangab waktu itu.
Sudah
belasan tahun kasus Talangsari berlalu. Kini satu per satu pihak yang terkait
kasus itu diperiksa Komnas HAM. Selama 2,5 jam, mantan Menkopolkam Sudomo
diperiksa Komnas HAM. Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui
pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan
adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang
mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan
pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang
pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar
Sudomo. Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas
HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng,
Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo
mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus
Talangsari yang terjadi pada tahun 1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren
yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem
saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga
menolak dan ada anggota yang dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga
karena kita ingin melakukan sosialiasi dan mengetahui latar belakang, lantas
ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini. Menurut Sudomo,
kasus Talangsari dibuka kembali mungkin karena ada tuntutan dari korban atau
untuk mencari data. Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim
investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah yang menjadi kesulitan.
Dikutip
dari (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasus-talangsari
jamaah-islamiyah dan-komnas-ham-04/
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar